Sekitar tahun
2000 SM terjadi lagi gelombang perpindahan bangsa yang berbahasa
Melayu-Austronesia. Pendatang yang berasal dari daerah Yunan, Cina Selatan
tersebut merupakan ras Mongoloid. Dari daerah Yunan suku bangsa
Melayu-Austronesia tersebut menyebar ke daerah-daerah hilir sungai besar di
sekitar Teluk Tonkin. Untuk kemudian bangsa tersebut menyebar ke Semenanjung
Malaya, Indonesia, Filipina, Formosa, sampai ke Madagaskar.
Kebudayaan yang
dibawa oleh suku bangsa Austro-Melanesoid adalah kebudayaan neolitikum, yakni
kebudayaan batu muda yang didukung dengan peralatan seperti kapak lonjong dan
kapak persegi. Suku bangsa Melayu-Austronesia tersebut juga dikenal dengan
sebutan bangsa Proto-Melayu yang berarti bangsa Melayu Tua. Jejak kedatangan
suku bangsa Austro-Melanesoid tersebut dapat dipelajari dalam kehidupan suku
Dayak di pedalaman Kalimantan, suku Toraja di pedalaman Sulawesi, suku Nias di
pantai barat Sumatera, suku Kubu di pedalaman Sumatera, dan suku Sasak di
Lombok.
Sekitar tahun
300 SM terjadi lagi gelombang migrasi yang berasal dari daerah Tonkin.
Pendatang baru tersebut dikenal dengan sebutan bangsa Deutro-Melayu yang
berarti bangsa Melayu Muda. Kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Deutro-Melayu
setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa
Proto-Melayu. Bangsa Deutro-Melayu tersebut membawa kebudayaan Dongson, yakni
kebudayaan perunggu yang berpusat di Dongson.
Bangsa
Deutro-Melayulah yang memperkenalkan kehidupan menetap sambil bercocok tanam
dan beternak. Selain itu bangsa Deutro Melayu juga telah mengenal adanya
organisasi sosial dengan mengangkat orang yang terkuat sebagai pimpinan mereka.
Untuk mendukung kegiatan bercocok tanam, mereka didukung dengan pengetahuan tentang
perbintangan (astronomi). Selain itu, suku bangsa Deutro-Melayu juga telah
mengenal kehidupan religius, yakni dalam bentuk animisme, dinamisme, dan
totemisme. Untuk keperluan pemujaan mereka mengembangkan kebudayaan
megalitikum, yakni membangun tempat-tempat pemujaan dengan menggunakan batu-batu
yang sangat besar.
Dr. Brandes,
seorang ahli purbakala mengklasifikasikan 10 (sepuluh) unsur kebudayaan asli
nenek moyang bangsa Indonesia, yaitu:
1. mengenal
kehidupan bercocok tanam dengan menanam padi di sawah,
2. mengenal
dasar-dasar pertunjukan seni wayang,
3. mengenal seni
gamelan yang terbuat dari perunggu,
4. mengenal seni
batik dengan lukisan hias,
5. dapat membuat
barang-barang yang berasal dari bahan logam,
6. mengenal
kehidupan masyarakat yang tersusun secara rapih dengan, yakni sistem macapat,
7. mengenal alat
tukar dalam kehidupan perdagangan,
8. memiliki
kemampuan dalam pelayaran,
9. mengenal ilmu
pengetahuan tentang perbintangan (astronomi), dan
10. sudah mengenal pembagian kerja sehubungan
dengan susunan masyarakat yang teratur.