Istilah
tradisional berasal dari kata tradisi atau traditum yang berarti sesuatu yang
diteruskan dari masa lalu menuju masa sekarang.
Sesuatu yang
diteruskan tersebut dapat berupa benda-benda, pola perilaku, sistem nilai dan
sistem norma, harapan dan cita-cita yang ada dalam suatu masyarakat. Tradisi
tersebut terbentuk melalui pikiran, imajinasi, dan tindakan-tindakan dari
seluruh anggota masyarakat yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Adapun wujud
sesuatu yang diteruskan (tradisi) tersebut adalah objek-objek kebendaan, sistem
kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat, dan lain sebagainya.
Makna lain dari
istilah tradisi adalah segala sesuatu yang berfungsi menjaga atau memelihara.
Dengan demikian, segala sesuatu yang berkembang pada generasi terdahulu akan
dijaga dan dipelihara oleh generasi sekarang dan bahkan mungkin juga oleh
generasi yang akan datang. Suatu tradisi dapat mengalami perubahan mana kala
generasi penerus melakukan pembaharuan terhadap tradisi yang diwariskan oleh
generasi pendahulunya. Pada umumnya perubahan tersebut hanya menyentuh pada
unsur-unsur luarnya saja, sedangkan unsur-unsur pokoknya tetap tidak mengalami
perubahan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tradisional merupakan
suatu masyarakat yang memelihara, menjaga, dan mempertahankan tradisi, adat
istiadat, sistem nilai, sistem norma, dan bahkan sistem kebudayaan yang
diwariskan oleh generasi pendahulunya.
Ditinjau dari
letak pemukimannya, masyarakat tradisional pada umumnya terdapat di pedesaan.
Oleh karena itu, masyarakat tradisional sering diidentikkan dengan masyarakat
pedesaan. Namun demikian, sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar antara
masyarakat tradisional dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat tradisional
cenderung merupakan masyarakat yang bersahaja, yakni yang relatif terhindar
dari pengaruh modernisasi. Sedangkan masyarakat pedesaan, sebagaimana yang
diuraikan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, adalah suatu masyarakat yang tinggal
pada suatu wilayah tertentu, memiliki suatu kesatuan hukum dan menyelenggarakan
pemerintahan sendiri.
Uraian di atas
mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa masyarakat tradisional pada umumnya
terdapat pada masyarakat pedesaan, meskipun tidak semua masyarakat pedesaan
merupakan masyarakat tradisional. Dengan demikian masyarakat tradisional telah
diidentikkan dengan masyarakat pedesaan. Memang antara masyarakat pedesaan
dengan masyarakat tradisional terdapat beberapa kesamaan. Itulah sebabnya
Talcott Parsons berani menggambarkan masyarakat pedesaan sebagai masyarakat
tradisional karena memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Adanya
ikatan-ikatan perasaan yang erat dalam bentuk kasih sayang, kesetiaan, dan
kemesraan dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan dalam bentuk saling
tolong menolong tanpa pamrih-pamrih tertentu.
2. Adanya
orientasi yang bersifat kebersamaan (kolektifitas) sehingga jarang terdapat
perbedaan pendapat.
3. Adanya partikularisme,
yakni berhubungan dengan perasaan subjektif dan perasaan kebersamaan. Dengan
demikian, dalam masyarakat pedesaan terdapat ukuran-ukuran (standar) nilai yang
bersifat subjektif yang didasarkan pada sikap senang atau tidak senang, baik
atau tidak baik, pantas atau tidak pantas, diterima atau tidak diterima, dan
lain sebagainya.
4. Adanya askripsi
yang berhubungan dengan suatu sifat khusus yang diperoleh secara tidak sengaja,
melainkan diperoleh berdasarkan kebiasaan atau bahkan karena suatu keharusan.
Itulah sebabnya masyarakat pedesaan sulit berubah, cenderung bersifat
tradisional dan konservatif yang disebabkan oleh adanya sikap menerima segala
sesuatu sebagaimana apa adanya.
5. Adanya ketidak jelasan
(diffuseness) terutama dalam hal hubungan antarpribadi sehingga
masyarakat pedesaan sering menggunakan bahasa secara tidak langsung dalam
menyampaikan suatu maksud.
Beberapa
karakteristik masyarakat pedesaan di atas banyak ditemui dalam kehidupan
masyarakat pedesaan yang masih murni. Seperti yang tampak dalam kehidupan
masyarakat pedesaan yang terdapat di Jawa yang memiliki beberapa ciri, antara
lain sebagai berikut:
1. adanya
persamaan dalam derajat (egaliter) karena stratifikasi sosial yang ada
hanya sebatas pada kepemilikan tanah belaka,
2. adanya tempat-tempat
yang dikeramatkan (punden) yang kemudian dijadikan sebagai pusat desa,
3. adanya etos
komunal yang ditunjukkan dalam tradisi saling tolong menolong,
4. pengurusan
tanah desa dilakukan oleh lurah dan pamong desa lainnya, dan
5. tidak adanya
hak keraton terhadap tanah desa karena hak keraton diwujudkan dalam bentuk
hasil bumi dan pengerahan tenaga kerja dari desa yang dimaksud.
Mata pencaharian utama masyarakat pedesaan adalah
pertanian. Meskipun terdapat beberapa pekerjaan lain seperti tukang batu,
tukang kayu, tukang genteng, tukang gula, tukang arang, dan sebagainya, namun
pekerjaan-pekerjaan tersebut sifatnya hanya sambilan saja, pada saat masa tanam
atau masa panen tiba, segala macam pekerjaan tersebut akan ditinggalkan begitu
saja. Kenyataan seperti ini semakin menunjukkan adanya homogenitas dalam
masyarakat pedesaan.