Pada dasarnya
politik merupakan bidang yang berhubungan dengan kekuasaan (power) dan
wewenang (authority). Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara politik
berkaitan erat dengan proses-proses yang berkaitan dengan kenegaraan dan
ketatanegaraan, yang meliputi lembaga-lembaga negara, dasar pemerintahan, sistem
pemerintahan, penyelenggaraan pemilihan umum, dan lain sebagainya.
pertanyaannya sekarang adalah, apakah yang dimaksud dengan kekuasaan (power)
dan wewenang (authority) tersebut?
Dalam setiap
hubungan antarmanusia, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat
kelompok, selalu tersimpul unsur kekuasaan dan wewenang. Soerjono Soekanto
mendefinisikan kekuasaan (power) sebagai suatu kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan
tersebut. Kekuasaan terdapat pada semua bidang kehidupan, yakni mencakup kemampuan
untuk memerintah dan memberikan keputusan-keputusan yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak lain yang diperintah.
Max Weber
mengatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu kesempatan seseorang atau sekelompok
orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan
sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang
atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan memiliki bermacam-macam sumber dan
sekaligus bermacam-macam bentuk. Kekuasaan juga terdapat di mana-mana, dalam
hubungan-hubungan sosial maupun dalam organisasi sosial. Namun demikian, pada
umumnya kekuasaan yang tertinggi terletak pada organisasi negara, karena secara
formal negara memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, bahkan
negara dapat menerapkan langkah-langkah kekerasan dan paksaan dalam rangka
menjalankan tugas pemerintahan.
Kekuasaan yang
terdapat dalam interaksi sosial, baik yang terjadi antara seseorang dengan
seseorang, antara seseorang dengan kelompok, dan antara kelompok dengan
kelompok, memiliki beberapa unsur sebagai berikut:
a. Rasa takut
Perasaan takut
terhadap seseorang akan menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan
tindakan orang yang ditakuti tersebut. Perasaan takut sesungguhnya merupakan
gejala jiwa yang bersifat negatif karena kepatuhan yang diwujudkan merupakan
keterpaksaan. Pada umumnya orang yang memiliki rasa takut akan berbuat apa saja
sesuai dengan kehendak orang yang ditakuti tadi. Rasa takut juga menyebabkan
terjadinya peniruan terhadap sikap dan perilaku orang yang ditakuti yang
dikenal dengan istilah matched dependent behavior.
b. Rasa cinta
Rasa cinta akan
menghasilkan perbuatan yang positif yang diwujudkan dengan perbuatan sukarela
dalam rangka menyenangkan pihak yang berkuasa. Rasa cinta sebaiknya
dikembangkan dalam hubungan kekuasaan agar sistem kekuasaan yang dijalankan
dapat berjalan dengan tertib dan teratur.
c. Kepercayaan
Kepercayaan
muncul sebagai akibat dari hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang
bersifat asosiasif. Meskipun kepercayaan sering bersifat pribadi, namun
kepercayaan juga dapat berkembang dalam hubungan organisasi yang luas.
Kepercayaan rakyat terhadap penguasa akan dapat melanggengkan penguasa tersebut
dalam memegang kekuasaan. Sebaliknya, ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa
akan melahirkan mosi tidak percaya yang dapat menjatuhkan penguasa.
d. Pemujaan
Kepercayaan
yang berlebihan akan melahirkan pemujaan. Akibat dari pemujaan adalah adanya
pembenaran terhadap segala tindakan penguasa, meskipun tindakan penguasa
terse-but sungguh-sungguh salah.
Keempat unsur
di atas sering digunakan oleh penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaannya.
Sebagaimana kekuasaan, wewenang juga dapat ditemui di mana-mana. Wewenang
merupakan suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk
menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai
masalah-masalah penting dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan.
Seseorang yang memiliki wewenang akan bertindak sebagai pemimpin atau
pembimbing bagi banyak orang.
Dengan
demikian, kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuasaan yang tidak sah karena
tidak memiliki otoritas untuk menjalankan kekuasaannya. Adapun bentuk-bentuk
wewenang antara lain sebagai berikut:
a. Wewenang
kharismatis, tradisional, dan rasional (legal)
Max Weber
mengemukakan bahwa perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional, dan
rasional didasarkan pada hubungan antara tindakan dengan dasar hukum yang
berlaku. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan atas kharisma
atau suatu keahlian khusus yang ada pada diri seseorang sebagai anugrah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Wewenang kharismatis cenderung bersifat irasional karena tidak
diatur oleh kaidahkaidah tertentu. Wewenang tradisional merupakan wewenang yang
dimiliki oleh seseorang karena adanya ketentuan-ketentuan tradisional.
Sedangkan wewenang rasional merupakan wewenang yang disandarkan pada sistem
hukum yang berlaku dalam masyarakat.
b. Wewenang
resmi dan tidak resmi
Wewenang resmi
merupakan wewenang yang sistematis dan rasional yang diperoleh secara resmi
berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku. Sedangkan wewenang tidak resmi
merupakan wewenang yang terdapat pada kelompok-kelompok yang tidak resmi yang
diperoleh secara spontan, situasional, dan didasarkan pada faktor persahabatan
maupun faktor kekeluargaan.
c. Wewenang
pribadi dan teritorial
Wewenang
pribadi merupakan wewenang yang diperoleh berdasarkan ikatan tradisi yang
didasarkan atas solidaritas antara anggota-anggota kelompok. Wewenang
teritorial merupakan wewenang yang diperoleh berdasarkan penguasaan terhadap
daerah-daerah tertentu.
d. Wewenang
terbatas dan menyeluruh
Wewenang
terbatas merupakan wewenang yang tidak mencakup semua bidang kehidupan,
melainkan hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja. Sedangkan wewenang
menyeluruh merupakan wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan
tertentu.
Ideologi
merupakan suatu rangkaian konsep cita-cita yang diemban dan diidamkan oleh
suatu kelompok, suatu golongan, suatu gerakan, atau suatu negara. Di dalam
suatu ideologi terdapat sistem konsep yang dijadikan landasan dalam memberikan
arah dan tujuan demi menjaga kelangsungan hidup.
Sistem politik
dan ideologi yang terdapat dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia senantiasa mengalami pembaharuan. Setiap pemimpin negara
telah berbuat yang terbaik di zamannya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya
dilakukan beberapa langkah korektif demi melaksanakan pembaharuan pada tahap
berikutnya.
Pemerintah Orde Lama mendapat koreksi dari pemerintah Orde Baru. Demikian juga
selanjutnya, pemerintah Orde Baru mendapat koreksi dari pemerintah yang
sekarang.
Pemerintah
sekarang juga masih disibukkan oleh berbagai kritik dan koreksi agar terus
melaksanakan pembenahan. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
sudah barang tentu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang
di kalangan rakyat. Pada zaman Orde Lama, hal mana tingkat pendidikan rakyat
Indonesia secara umum masih sangat rendah, maka demokrasi yang diterapkan
cenderung bersifat otoriter. Hal tersebut lebih disebabkan karena ketersediaan
sumber daya manusia berkualitas yang sangat sedikit.
Pada zaman Orde
Baru kehidupan demokrasi sedikit mengalami peningkatan yang ditandai dengan
penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali. Namun demikian, pada masa Orde
Baru kehidupan kepartaian tidak sebebas sekarang dengan alasan untuk menjaga stabilitas
keamanan nasional.
Belakangan ini
sangat gencar terdengar isu-isu demokratisasi. Sebagian masyarakat menghendaki
pelaksanaan demokrasi yang ideal, sebagaimana yang terjadi di negara-negara
barat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan pemerintahan
yang didasarkan atas kekuasaan rakyat atau yang populer dengan istilah
goverment by rule by the people. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya
demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pelaksanaan
demokrasi yang ideal harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang
ideal juga. Mengingat, pengambilan keputusan dalam tradisi demokrasi sering
diwarnai oleh suara yang terbanyak bukan suara yang berkualitas. Pengambilan
keputusan seperti itu bisa jadi akan menjerumuskan. Sebagai ilustrasi, pendapat
yang datang dari seratus orang buta huruf akan dianggap lebih menentukan
daripada pendapat yang datang dari tiga puluh orang pakar. Padahal, secara
rasional pendapat para pakarlah yang lebih baik meskipun jumlahnya tidak
sebanyak yang lainnya. Itulah sebabnya, kehidupan demokrasi dalam sistem
politik di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan, yakni demokrasi
parlementer atau dikenal juga dengan demokrasi liberal (terjadi antara tahun
1945-1959), demokrasi terpimpin (terjadi antara tahun 1959-1966), dan demokrasi
Pancasila (terjadi antara tahun 1966-sekarang).
Pada masa
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal, pemerintahan sering mengalami
jatuh bangun sebagai akibat dari terlalu dominannya parlemen (DPR) dalam
menentukan pemerintahan. Pemerintahan tidak dapat bekerja secara efektif
sebagai akibat dari adanya pertentangan yang terjadi dalam tubuh partai politik
sehingga Presiden Soekarno merasa perlu melakukan dekrit. Sementara itu, pada
masa demokrasi terpimpin terdapat beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan
UUD 1945 hingga mencapai puncaknya, yakni terjadinya tragedi nasional yang
berupa G30S/PKI.
Pemerintah Orde
Baru melakukan beberapa langkah pembaharuan, yakni dengan menerapkan format
demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila dapat didefinisikan sebagai suatu
demokrasi yang dijiwai dan didasari oleh falsafah Pancasila. Semangat yang
dibangun dalam demokrasi Pancasila adalah semangat kekeluargaan. Penyelesaian
masalah politik dilakukan melalui lobi yang intensif untuk menghindarkan diri
dari pertentangan pendapat dan perpecahan.
Wakil-wakil
rakyat dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilihan umum yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Kemajuan yang dicapai
oleh pemerintah Orde Baru adalah terbentuknya negara kesatuan Republik
Indonesia yang tertib dan dinamis berdasarkan ideologi Pancasila. Perkembangan
kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara di Indonesia
harus disikapi sebagai suatu upaya untuk mencari format atau model demokrasi
yang cocok bagi sistem perpolitikan Indonesia, mengingat usia bangsa Indonesia
yang relatif masih muda.
Sekitar bulan
Mei 1998, terjadi gejolak rakyat berupa aksi demonstrasi yang dilaksanakan
secara besar-besaran untuk menuntut penyelenggaraan sistem politik yang lebih
demokratis. Aksi tersebut telah berhasil mendesak Presiden Soeharto untuk
lengser. Para pengganti Presiden Soeharto, baik B.J. Habibie, K.H. Abdulrachman
Wahid, maupun Megawati terus berupaya melaksanakan pembaharuan.
Pembaharuan-pembaharuan tersebut sudah barang tentu tidak akan pernah berakhir
mengingat persoalan bangsa dan negara yang selalu berkembang. Pembaharuan dalam
bidang politik harus dilaksanakan secara terencana dan sistematis mengingat
tantangan yang ada pada era global dan era informasi yang semakin berat.